
Catatan Perjalanan Hidup
Apa jadinya jika sebuah karya sastra kuno yang penuh makna hidup, kisah cinta, dan perjalanan spiritual, dihidupkan kembali dalam bentuk novel yang lebih mudah dibaca dan dinikmati oleh pembaca masa kini?
Itulah yang dilakukan Agus Wahyudi dalam novelisasi Serat Centhini — sebuah mahakarya yang dahulu ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta pada abad ke-19, kini diangkat kembali dalam bentuk cerita yang mengalir, mendalam, dan menyentuh hati.
Novel ini mengikuti perjalanan seorang pemuda bangsawan bernama Jayengresmi, yang meninggalkan kehidupan istana demi mencari arti sejati kehidupan. Dalam perjalanannya keliling tanah Jawa, ia bertemu dengan berbagai tokoh dan mengalami beragam peristiwa: belajar dari para guru sufi, mendalami ajaran Islam, mengenal budaya dan adat, hingga berhadapan dengan godaan-godaan duniawi seperti cinta dan hasrat.
Namun Serat Centhini bukan sekadar kisah petualangan biasa. Ia menyajikan perpaduan antara ajaran moral, spiritualitas, seksualitas, dan kebijaksanaan lokal Jawa, yang semuanya disampaikan secara jujur, apa adanya, dan penuh perenungan.
Melalui gaya bertutur yang puitis namun ringan, Agus Wahyudi menghadirkan kembali kisah ini agar dapat dinikmati oleh pembaca umum — tanpa harus memahami bahasa Jawa Kuno atau istilah filsafat yang rumit. Setiap babak dalam kisah ini menyajikan pelajaran tentang kehidupan: tentang bagaimana kita mengenali diri sendiri, mengendalikan hawa nafsu, mencari Tuhan, dan memahami tempat kita di dunia.
Bagi siapa pun yang ingin menyelami kekayaan budaya dan spiritualitas Nusantara, novel ini adalah jendela yang membuka wawasan baru. Ia tidak hanya menceritakan masa lalu, tapi juga mengajak kita merenungkan masa kini — tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan menuju.