× Home Polling Quiz Dictionary Login
Avatar

Sang Penata Rambut Harare (Bab 7)

September 09, 2020 Novel 198 Views


The Hairdresser of Harare sebuah karya sastra karangan Tendai Huchu, pertama kali dipublikasikan tahun 2010. Mengisahkan kehidupan Zimbabwe Kontemporer dilihat dari sudut pandang Sang Penata Rambut yang bekerja di sebuah Salon di Kota Harare.

Makam itu jauh lebih besar dari yang kuingat. Ini disebut Mbudzi yang berarti kambing, aku tidak pernah tahu kenapa dinamai demikian. Hanya berselang 12 bulan sejak Robert dimakamkan dan makamnya telah dua kali lebih besar. Deretan bumi terhampar dikejauhan. Dibelakangnya ada semak-semak. Bumi menghitam karena rumput yang terbakar acak tanpa ada yang berusaha untuk menghentikannya. Abu membubung tinggi di langit ketika angin bertiup dan menempel di pakaian. Pepohonan kering membungkuk seakan-akan menyerah untuk ditebang agar dapat memberikan lebih banyak lagi tempat pemakaman.

Beberapa makam dicor beton, beberapa memiliki nisan diatasnya. Sebagian besar menyerupai ubi jalar di bumi dengan tongkat salib sebagai tanda. Aku berjalan diantara makan tak bertanda mencari makam saudara lelakiku. Sulit menemukannya karena semuanya terlihat sama. Dikejauhan nampak sekolompok orang menggali makam, beberapa sedang melakukan upacara pemakaman dari lagu sedih yang didendangkan menandakan mereka adalah Katolik, Methodist, Salvationist, Aglican, dll.

Akhirnya kutemukan makam Robert. Ditumbuhi gulma diatasnya, aku berusaha mencabutnya semampuku, walaupun masih tertinggal beberapa akarnya karena tanahnya yang mengering dan keras, Kuletakkan bunga diatasnya, teringat bahwa bunga mungkin bisa dicuri untuk dijual kembali jadi harus  dirusak. Makam menjadi ajang latihan pencurian. Di hari pemakaman, sebelum peti jenazah diturunkan dilakukan pengrusakan agar tidak bernilai untuk dijual dan dipergunakan kembali. Namun masih berisiko pencurian jas dari jenazah mengingat makam tidak memiliki penjaga.

Aku berlutut dan tidak pecaya bahwa saudara lelakiku berbaring dibawah gundukan tanah kering ini. Rasanya belum lama ini kami mengantarnya ke bandara. DIa mengenakan jas hitam, kemeja putih dan dasi bermotif bunga yang aku belikan untuknya ketika dia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru. Kami semua meneteskan air mata dan dia berjanji akan segera kembali. Dia hanya akan bekerja di Inggris sampai memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah dan akan kembali. selain mengirimkan uang untuk keluarga dia bekerja keras untuk membeli rumah untuk dirinya. Namun ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan atau orang-orang yang harus didik lebih banyak lagi. akhirnya dia merasa harus tinggal di Inggris untuk menghidupi keluarganya. Kemudian VISA nya kadaluarsa dan dia tidak bisa kembali bahkan untuk liburan.

Suatu saat dia pernah menelpon dan mengatakan sedang berada di dalam bis dalam perjalanan pulang dari sift malam dari sebuah panti jompo. Dan pagi hari harus mengajar di tempat yang lain. Seluruh hidupnya seperti hanya sekitar masalah pekerjaan. Dia berharap untuk bisa mengajar tetapi tidak memungkinkan tanpa visa yang tepat. Dia menulis betapa bodohnya orang Inggris. Aku tidak bisa membayangkan mengapa orang kulit putih bisa bodoh. Dia bertemu dengan orang inggris yang tidak pernah membaca Shakespeare dan tidak bisa menulis kata yang tepat sesuai dengan bahasa ibu mereka. Rasanya anak gadisku sendiri memiliki kesamaan ini.

Kami semua menunggu kapan dia akan mendapatkan istri berkulit putih dan memberikan keponakan berwarna untukku. Panggilan terakhir terkutuk itu berasal dari seorang polisi yang mengabarkan dia meninggal. Mereka menemukan nomorku di ponselnya. Dia telah membeli mobil untuk pertama kalinya dan mengemudi pulang dari tempatnya bekerja ketika dia mengantuk dibelakang kemudi.

"Bhudi Robbie... meninggal!" Aku berteriak dan ponselku jatuh.

"Itu tidak benar." Kata Bapakku.

Ibu pingsan dan semua diliputi kesedihan.

Lima ribu pounsterling biaya untuk memulangkan jenazahnya. Itu jumlah yang tidak bisa kami cukupi, namun Robert telah mempersiapkan dengan baik. Dia memiliki asuransi dan dengan uang itu bisa membawanya pulang termasuk untuk biaya pemakamannya. Aku bersyukur karena banyak cerita tenatang orang-orang Zibabwe yang meninggal di luar negeri dan jenazahnya tidak bisa dibawa pulang. Keluarga tersebut tidak bisa menjenguk orang yang dikasihinya di makam.

Bagaimanapun, kekompakan yang kita rasakan ketika meneteskan air mata ke bumi musnah beghitu saja setelahnya. Rumah di Eastlea yang Robert beli dari tabungannya sejak lama aktanya baru saja ditanda tangani. Satu hal yang orang lihat tentang kematian sering seperti yang semua orang tahu adalah pertanyaan tentang apa yang dipikirkan bahkan sebelum tubuhnya dingin.

KITA AKAN MENDAPATKAN WARISAN APA?

Kita menjadi karnivora bagi yang lainnya. Tetapi sekali lagi Robert telah memikirkan segalanya. DIa baru berumur dua puluh lima namun sepertinya dia tahu jika mendapatkan pinjaman waktu. Dia meninggalkan surat wasiat dan telah diatur oleh pengacara dari Kedutaan Inggris datang dan membacakan untuk kami. Dia seperti tikus berkumis yang berkeringat dibalik jasnya yang berat. aku agak menilai rendah kepadanya. Pengacara macam yang mengendarai Mazda 323? Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri dan mencoba menyenangkan dia. Berharap bisa merubah isi surat wasiat yang berada di kertas tebal putih yang dipegangnya. Dia duduk di kursi Bapak, kursi terbaik yang dipunyai rumah ini. Mungkin dia wasir karena dia duduk dengan gelisah dan mencoba untuk menggaruk pantatnya. Begitu kami berkumpul dia segera memulainya, dan aku kurang terkesan dengan Bahasa Inggrisnya. Sangat kental dengan dialog Shona dengan  penekanan huruf R di tempat yang tidak semestinya.

"Terimakasih telah menyambutku, Seperti yang Anda ketahui, Anak Anda memberikan wasiat sebagaimana diamanahkan melalui Kediutaan Besar Inggris." Dia melanjutkan membaca dan menjelaskan permasalahan hukum sebelum menuju pokok permasalahan. Rumah begitu sunyi.

"Pakaiannya setelah nanti pengirimannya sampai akan diberikan diantara saudara laki-lakinya. Paman dan Bibinya akan mendapatkan satu set televisi yang tentu saja mereka tidak pernah tonton semasa dia hidup."

Sebagaimana daftarnya yang dibacakan dengan keras,  aku merasa ada perubahan gaya hidupnya yang steril dan penuh makna.

Bagian yang paling ditunggu-tunggu adalah rumah. AKu telah mendengar bahwa Takesure dan Knowledge, saudara laki-laki tertua kami mendiskusikan ini minggu yang lalu. Takesure yang tertua akan mengambil rumah induk dan Knowledge bersama istrinya akan tinggal di pondok.

"Aku tertarik dengan properti yang telah aku beli secara penuh dengan asuransi. Rumah ini akan aku wariskan kepada Saudari perempuanku Vimbai Hozo dan Keponakanku Chiwoniso."

Aku goyangkan kepalaku, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Jika tidak kukuatkan diriku  aku sudah pingsan. Takesure melompat dan merebut kertas wasiat dari tangan Pengacara.

"Apa maksudnya ini?" Dia merobek kertas wasiat itu menjadi dua dan melemparkan ke lantai.

Pengacara menyusut kebelakang namun Takesure mencengkeram kerahnya dan menggoyang-goyangkan dan kepalanya terayun-ayun seperti lap boneka kain.

"Porisi...Porisi." Pengacaya yang malang itu meneriakkan kata polisi. dia mendapatkan tamparan keras di wajahnya.

"Biarkan dia pergi. Itu tidak akan mengubah apapun." Kata Bapak melepaskan cengkeraman kuat di krahnya. Pengacara itu lari secepat kilat. Berteriak dia akan menuntut.  Dia tidak menuntut dan tetap menjadi pelaksana wasiat sampai selesai.

Bulan berikutnya penuh dengan pertengkaran. Takesure dan Knowledge mengancam akan memukuliku jika tidak mau menandatangani penyerahan rumah itu. Layaknya mereka yang paling berhak atas rumah itu. Bapak dan Ibu setuju rumah itu untuk mereka.

"Bagaimana jika aku menikah?" Mereka beralasan. Keluarga akan kehilangan rumah. Aku ingin menyerahkan rumah itu, jika saja setengah dari warisan itu bukan haknya Chiwoniso. Aku akan mempertahankan hak warisan anakku. Takesure dan Knowledge memboyong keluarganya pindah ke rumah itu setelah itu berbulan bulan pergi kesana kemari di kantor pengadilan dan digusur polisi. Aku menderita ancaman tanpa akhir,. Ancaman itu berhenti ketika aku memenangkan secara damai dan mereka wajib menjaga jarak paling dekat seratus meter dari keluargaku atau rumahku.