× Home Polling Quiz Dictionary Login
Avatar

Sang Penata Rambut Harare (Bab 3)

August 23, 2020 Novel 83 Views


The Hairdresser of Harare sebuah karya sastra karangan Tendai Huchu, pertama kali dipublikasikan tahun 2010. Mengisahkan kehidupan Zimbabwe Kontemporer dilihat dari sudut pandang Sang Penata Rambut yang bekerja di sebuah Salon di Kota Harare.

Rumah yang aku tinggali jauh lebih besar dari apapun yang pernah aku impikan, berada di Eastlea, pinggiran kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah, rumah bagi kelas menengah, dimana orang-orang biasa lewat dengan keranjang besar dikepalanya.  Sebuah lingkungan yang bernuansa Inggris adalah lingkungan yang baik. Tentu saja ada pengecualian seperti Highfields or Hatcliffe, untuk wilayah dengan klepadatan tinggi. Jadi kami mencoba men Shonakan Highfields menjadi Highfiridzi; Hatcliffe menjadi Hatikirifi.

Wajar dan naluriah ketika kami mengeja nama lingkungan seperti Borrowdale sebuah pemukiman mewah dengan rumah-rumah yang besar dengan nada sengau dan mencoba menjadi lebih inggris.

Sudah seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepada Tony Blair yang pernah meningap di rumah saudara tuaku. Bungalow dengan empat tempat tidur beratap merah yang berdiri diatas lahan satu are.

Rumput liar yang telah dicabut dan digantikan rerumputan hijau perlahan-lahan menjadi gundul seperti gurun, kebun bunga dengan specimen impor juga mulai layu hanya tinggal Geronimo dan Marigold yang disemai sendiri yang masih memberi warna. Tembok keliling masih berdiri untuk menyembunyikan rasa malu  dari kerlingan mata.

Halaman belakang memiliki kisah yang berbeda.     Kami me-miliki delapan bedengan berbagai macam sayuran, lobak, tomat, wortel kubis dan labu. Disudut halaman dekat kamar pelayan tumbuh pohon jambu. Pohon persik telah lama mati dan telah menjadi kayu bakar. Sebatang tunggak masih berdiri yang pada suatu hari nanti juga akan kami cabut dan kami bakar juga.

Ketika tiba di rumah, anak gadisku Chiwoniso memerah, sewarna dengan tanah dari bagian kota ini. Bersama teman kecil sekolahnya mereka belepotan dari kubangan lumpur.

“Main diluar sana”, teriakku.

“Mama” mereka berkata kompak, berlari dengan  kecepatan tinggi kearahku.

”Menjauhlah dari mama”.

Aku mengenakan pakaian berwarna putih. Aku tidak tahu ada apa dengan anaka-anak hari ini. Mereka tidak maua menurut. Tetap berada didekatku bisa-bisa bajuku akan ternoda. Jika saja mereka tahu bahwa sangat susah menghilangkan noda lumpur dari baju. Aku mengambil permen dan memberikan kepada mereka. Lega hatiku mereka bertepuk tangan mengcuapkan terima kasih kepadaku.

“Jangan lupa jam 6 petang kalian arus sudah pulang”.

Terlalu kecil mereka untuk diberi tahu tentang jam, namun mereka paham jika matahari mulai tenggelam mereka harus segera beranjak untuk pulang.

Rumah seketika kosong dan sepi hanya ada aku dan Sisi Maidei, asisten rumah tanggaku. Aku tumbuh di rumah yang memiliki dua tempat tidur yang kecil di Tafara berbagi selantai dengan lima gadis lainnya. Tidak pernah ada kedamaian Ketika aku dalam masa tumbuh kembang. Selalu dikelilingi tawa canda dan obrolan yang tak pernah berhenti. Terkadang aku kangen suasana itu namun aku telah berlajar untuk memiliki ruang tersendiri.

"Maswera sei?" kata Sisi Maidei.

"Taswera maswerawo."

Aku berkata pada Sisi Maidei untuk menyeduhkan secangkir the untukku, tenggorokankanku kering. Aku duduk bersandar di sofa dan nyantai. Seharian aku berdiri dan lututku terasa penat. Aku urut untuk menguraqngi rasa penat. Di balik jendela anak-anak Kembali bermain dikubangan lumpur, terpancar kebahagiaan dan rasa tak berdosa masa kanak-kanak. Aku disini untuk melindungi mereka. Aku tidak ingin anakku Chiwoniso mengamali masa kanak-kanak sepertiku.

“Ini tehnya Bu”.

“Makasih”,  aku seruput sesendok untuk mencicipi tehnya.

“Kamu selalu menuangkan terlalu banyak gula, ada apa dengan mu, kamu pikir aku beli gula dengan kertas?”

Gadis bodoh itu berdiri termangu sampai aku menyuruhnya pergi dengan mengibaskana tanganku. Ini permasalahan gadis pinggiran mereka selalu seperti itu tidak berubah. Namun tidak ada yang lebih pintar. Sedang gadis kota akan mencuri Ketika mereka memiliki kesempatan. Sangat susah untuk menemukan asisten tumah tangga yang baik.

Chiwoniso masuk rumah. Kakinya yang mungil meninggalkkan jejak lumpur di lantai. Aku suruh Maidei untuk memnadikannya.

“Tapi ma…aku tidak mau mandi”.

Dia menggeliat namun aku mempertegas dan dengan erat memeluknya.

“Jika tetap seperti ini, tidak ada lagi permen untukmu”.

Dia termenung pikiran kecilnya mungkin sedang mempertimbangankan antara mandi dan kelihangan permen. Wajahnya menyiratkan itu.

“Jangan kawatir, kita mandi Bersama”. Senyumnya terkembang seperti sinar bulan di wajahku.aku menciumnya sekali lagi kami baikan. Suatu saja jika dia dewasa dia akan tahu kenapa aku selalu memandikannya setiap sore. Umurnya baru saja 6 tahun dan baru duduk di tahun pertama sekolah dasar. Dia tidak tahu kalua aku selalu melakukan pemeriksaan jika ada tanda-tanda Kekerasan Seksual di tubuhnya. Aku tahu kalau ketakutanku berlebihan, namun Herald selalu dipenuhi berita tentang Kekerasan Seksual terhadap anak-anak. Saat ini entah itu AIDS atau lainnya anak-anak menjadi korbannya. Sylvia pernah sekali cerita padaku Klinik Kekerasan Seksual Anak di Rumah Sakit Harare terlihat seratusan dalam seminggu dan itu hanya sedikit ibarat punca gunung es telihat sedikit di permukaan namun sebenarnya lebih banyak dari yang terlihat. Jika itu terjadi pada Chiwoniso maka harus melangkahindulu mayatku sampai kapanpun.

Maidei sedang memasak makan malam diatas tungku dihalaman yang baru baru ini kita buat untuk menghemat biaya listrik. Biaya-biaya naik selama dua bulan belakangan ini dan aku memiliki tunggakan dua bulan.

Disinari lampu penerangan dian memasukkan kay uke tunggu dan tyangannya yang kuat mengaduk adonan di panic dengan teratur. Layaknya mesin hidup sepnajang masa dapat dipergunakan. Satu hal yang aku kagumi dari anak itu dia bekerja dengan ulet dan tidak pernah mengeluh. Dia juga mampu merawat taman karena aku tidak mampu membayar tukang kebun untuk itu. Saat seperti itu terpikirkan olehku untuk tidak menggantikannya dengan yang lain.

Menu malam mini adalah Sadza dengan matemba masakan labu yang dibumbui tomat dan bawang dan lemak sapi untuk memperkaya rasa. Aromanya enak namun aku harus menambahkan sedikit garam. Aku harus mengajari anakku Chiwoniso tidak suka matemba, jadi aku membiarkannya menambahkan lacto dan sadza.

“Ceritakan sekolahmu hari ini”, kataku

Dia mulai bercerita tentang gurunya, teman sekolahnya dan Tuhan yang Maha Mengetahui Segalanya, sepertin tidak masuk akal Bahasa inggrisnya yang lancer mengalir dari lidahnya secara alami  

Dia tidur agak malam, hari ini jumat jadi besuk dia tidak perlu bangun pagi untuk ke sekolah. Maidei mencuci piring sebelum pergi tidur. Chiwoniso meminta aku mendingengkan kisah yuang pernah aku ceritahan beberapa waktu lamanya, kucium keningnya dan menyelimuti tubunya aku berharap dapat terus melakukan ini. Kemudian aku melakukan pengecekan semua pintu dan jendela. Terbesrsit niat untuk membuat jeruji besi. Namun pencuri di Harare bekerja 24 jam sehari tujuh hari seminggu apalagi untuk rumah yang di huni para wanita akan mudah untuk dimasuki. Baru-baru ini sebuah ruamh di seberang jalan dirampok semua barang yang dimilikinya ludes banhkan bola lampu juga diambil. Penghuni rumah tertidur pulas telanjang di lantai. Ada desas desus kalau  perampok meniupkan bubuk untuk membuat penghuni rumah tidak sadarkan diri, namun tidak diketahui serbuk ap aitu dan diperoleh dari mana.

Akhirnya aku merebahkan diri dan memandari langit-langit rumah dan mencoba menepis pikiran bagaiamana rumah ini memisahkan aku dan keluargaku.

--Bersambung--